Minggu, 23 Maret 2014

Hari Pertama Musafir Cinta di Malaysia (Serial Musafir Cinta)

Setelah shalat Shubuh berjama’ah bersama adikku Soni, diriku langsung berangkat menuju Bandara Internasional Minangkabau. Pada saat mengantri tiket, aku berbagi informasi dengan seorang anak yang duduk di High School Malaysia setingkat SMA kelas di Indonesia bersama ibunya yang sedang liburan di Pariaman. Si anak itu curhat tidak mau melanjutkan sekolah ke universitas dikarenakan mau bekerja. Sang Ibu pun terus membujuk anak tersebut. Aku pun mendengarkan urusan dalam negeri keluarga tersebut. Negosiasi antara si anak dengan sang ibu yang biasanya alot layaknya diriku dan Ibuku mengenai urusan menikah.
Tiba-tiba ada seorang nenek yang bertanya kepadaku apakah diriku ke Malaysia Cuma sendirian. Aku pun menjawab iya. Nenek tersebut lalu meminta pertolonganku untuk membawakan barangnya yang berisi kue karena kakinya lumpuh dan harus menggunakan kursi roda. Dengan tampang polos dan bersahabat pun, aku siap membantu Nenek tersebut.
Saat proses pendaftaran barang-barangku di counter Air Asia, aku menginginkan barangku masuk pesawat tapi tidak dibolehkan karena melebihi 7 kg yakni 9 kg. Dan yang lebih parah aku harus kena charge bagasi senilai 315 ribu rupiah karena tak ada fasilitas bagasi sebelumnya. Karena uang yang aku pegang semua dalam mata uang ringgit yang telah kutukar hari sebelumnya di Hotel Pangeran Beach Padang. Aku pun berlari ke luar untuk mengambil uang di ATM. Setelah menyelesaikan urusan check in, aku pun mencari nenek tersebut. Akhirnya, kami bertemu di ruang tunggu kembali. Aku berjodoh dengan nenek tersebut yang sama-sama mempunyai tujuan di daerak Gombok. Dia pun menawarkan tumpangan karena anaknya akan menjemput di Malaysia. Aku sedikit lega karena sebelumnya terkatung-katung belum jelas informasi dari keluargaku di Gombok akan menjemputku.
Selama di pesawat, Alhamdulillah bisa menanyakan banyak hal kepada pekerja Indonesia yang bekerja belasan tahun di Malaysia yang tinggal di Bangi dan Johor. Dia menjawab semua pertanyaanku dengan baik seperti peserta kuis Who Wants To Be A Millionnaire dengan logat Melayu khas walaupun dia orang Minang. Dia pun bercerita suka duka bekerja dengan orang Melayu yang mohon maaf pelit tapi nyantai dan orang Cina Malaysia yang royal tapi dituntut kerja keras. Kami pun juga berkomentar mengenai seragam nyante ala Air Asia dengan seragam formal maskapai penerbangan yang lain. Serasa sebentar perjalanan kami karena keasyikan mengobrol.
Di proses imigrasi Malaysia, aku antri di barisan eh tiba-tiba aku disuruh minta membawa barang-barang Ibu lagi. Apa bakatku emang kuli? haha. Bahkan salah satu teman pesawatku bilang, sebelum membantu barang-barang Nenek dan Ibu itu seharusnya diriku mengecek apakah barang itu tak berbahaya, jika berbahaya nanti diriku yang akan kena perkara. Aku mengucapkan banyak terimakasih atas nasihat dan perhatiannya. Betapa polos-sepolosnya diriku.
Petugas imigrasi bertanya kepadaku dengan logat Melayu yang aku kurang paham maksudnya. Terjadilah miskomunikasi dengan mereka. Malah aku disalahkan karena tidak paham mereka sambil menertawakanku dan memperingatkanku agar lain kali membeli tiket pesawat pulang ke Indonesia. Jelas-jelas sebuah komunikasi itu berhasil jika si penerima pesan mengerti apa yang disampaikan oleh pemberi pesan.
Setiba di pintu keluar, aku terkejut rupanya Pak Zulkifli yang tinggal di Ampang, Malaysia menjemputku dengan mengunakan satu papan nama yang bertuliskan namaku yang salah plus nama Ayahku. Kali ini kumaafkan. Biasanya aku paling cerewet jika namaku salah. Haha. Karena itu pemberian Ayahku yang penuh pengorbanan selama ini kepadaku. Dia beralasan lupa wajahku. Kami terakhir bertemu di rumah ortuku di Padang sewaktu aku masih remaja. Sekarang kan masih remaja juga. haha. Aku masih ingat wajah beliau. Yang menjemputku Pak Zul, Yusuf (anak bungsunya yang lagi ABG) dan Zizi pun menjadi supir dai mobil kebanggan Malaysia Proton (anak dari Tante Tini yang tinggal di Gombak).
 Pak Zul rajin menanyai tentang diriku di atas mobil, sedangkan Yusuf sibuk dengan musik yang dipasang melalui HP dan Zizi asyik menelpon rekan kerjanya. Pak Zul pun berperan sebagai tour guideku di Malaysia. Dia mempresentasikan jalan-jalan di Malaysia dengan lengkapnya beserta sejarahnya. Setiba di rumah Pak Zul di Ampang, Yusuf yang paling getol agar kita segera makan. Karena tidak enak dengan Tante Nu yang telah membuatkan masakan yang enak, terpaksa kubatalkan puasaku.
Setelah makan, Pak Zul berkisah tentang keluarga besarnya yang mempunyai 8 orang anak dan 9 cucu serta memberi foto keluarganya sebagai kenang-kenangan, begitu juga dengan diriku beserta tandatanganku. Beliau pun bercerita mengenai pengalamannya naik haji dengan detil dan rizki yang sangat mengejutkan yang dialami oleh anaknya yang Dhuha yang terpilih naik haji secara tiba-tiba. Aku pun termotivasi untuk segera naik haji. Semoga aku dimampukan oleh-Nya. AAMIIN. Beliau berkata orang Indonesia banyak yang menjadi Ustadz di tanah suci dan sangat iba dengan fasilitas yang minim yang didapatkan oleh orang Indonesia selama berhaji mulai dari makan, penginapan dll. Di rumahnya sedang diputarkan siaran TV Malaysia. Rupanya Malaysia sedang merayakan hari kemerdekaannya dan hari koperasi.
Aku shalat Dzuhur di masjid belakang rumah Pak Zul yang diantarin oleh Am, cucu Pak Zul. Di sana aku seakan shalat multikultural dimana jama’ahnya multi etnis. Pak Zul pun mengantar diriku untuk membeli pulsa perdana Maxis senilai 5RM agar memudahkan komunikasi di antara kami. Kemudian, aku yang ngantuk berat diantar oleh Zizi ke rumahnya di Gombak. Aku dikenalin oleh Tante Tini dengan para hadirin dalam rangka acara mendo’a almarhum suaminya, Om Othman. Mendengar percakapan para hadirin ini sangat lucu sekali karena biasanya aku mendengar bahasa Indomi (bahasa campuran Indonesia Minang) sekarang bahasa Memi (Melayu Minang).haha.

Aku shalat maghirb berjama’ah di Surau depan rumah Tante Tini. Aku berkenalan dengan Pak Ramli, salah satu pengurus Surau yang mewah dan bersih menurutku. Ayahnya orang Langkat tetapi dia tidak kenal sanak saudaranya lagi. Ibunya orang Johor. Setelah shalat Maghrib berjama’ah, diadakan kajian. Aku jadi ingat antusiasme masjid di Jogja dalam mengadakan kajian. Isya berjama’ah di Masjid ini pun aku tempuh. Lalu, aku pun menuliskan tulisan ini sekedar berbagi kesalahanku kepada teman-teman agar teman-teman tak mengulangi kesalahanku. AAMIIN. Selama penulisan ini, aku pun dilanda kelaparan. Aku pun makan masakan yang hampir mirip masakan Minang tapi rasa Malaysia ditemani oleh Tante Tini. Di dalam hatiku, aku merasa tak enak hati karena merepotkan mereka. Aku harus segera menyelesaikan misi ini dan kembali ke Jogja. Aku pun minta tolong dicariin tiket KL-Jogja Sabtu ini. ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar