Setelah
shalat Shubuh berjama’ah bersama adikku Soni, diriku langsung berangkat menuju
Bandara Internasional Minangkabau. Pada saat mengantri tiket, aku berbagi
informasi dengan seorang anak yang duduk di High School Malaysia setingkat SMA
kelas di Indonesia bersama ibunya yang sedang liburan di Pariaman. Si anak itu
curhat tidak mau melanjutkan sekolah ke universitas dikarenakan mau bekerja.
Sang Ibu pun terus membujuk anak tersebut. Aku pun mendengarkan urusan dalam
negeri keluarga tersebut. Negosiasi antara si anak dengan sang ibu yang
biasanya alot layaknya diriku dan Ibuku mengenai urusan menikah.
Tiba-tiba
ada seorang nenek yang bertanya kepadaku apakah diriku ke Malaysia Cuma
sendirian. Aku pun menjawab iya. Nenek tersebut lalu meminta pertolonganku untuk
membawakan barangnya yang berisi kue karena kakinya lumpuh dan harus
menggunakan kursi roda. Dengan tampang polos dan bersahabat pun, aku siap
membantu Nenek tersebut.
Saat
proses pendaftaran barang-barangku di counter Air Asia, aku menginginkan barangku
masuk pesawat tapi tidak dibolehkan karena melebihi 7 kg yakni 9 kg. Dan yang
lebih parah aku harus kena charge bagasi senilai 315 ribu rupiah karena tak ada
fasilitas bagasi sebelumnya. Karena uang yang aku pegang semua dalam mata uang
ringgit yang telah kutukar hari sebelumnya di Hotel Pangeran Beach Padang. Aku
pun berlari ke luar untuk mengambil uang di ATM. Setelah menyelesaikan urusan
check in, aku pun mencari nenek tersebut. Akhirnya, kami bertemu di ruang
tunggu kembali. Aku berjodoh dengan nenek tersebut yang sama-sama mempunyai
tujuan di daerak Gombok. Dia pun menawarkan tumpangan karena anaknya akan
menjemput di Malaysia. Aku sedikit lega karena sebelumnya terkatung-katung
belum jelas informasi dari keluargaku di Gombok akan menjemputku.
Selama
di pesawat, Alhamdulillah bisa menanyakan banyak hal kepada pekerja Indonesia
yang bekerja belasan tahun di Malaysia yang tinggal di Bangi dan Johor. Dia
menjawab semua pertanyaanku dengan baik seperti peserta kuis Who Wants To Be A
Millionnaire dengan logat Melayu khas walaupun dia orang Minang. Dia pun
bercerita suka duka bekerja dengan orang Melayu yang mohon maaf pelit tapi
nyantai dan orang Cina Malaysia yang royal tapi dituntut kerja keras. Kami pun
juga berkomentar mengenai seragam nyante ala Air Asia dengan seragam formal
maskapai penerbangan yang lain. Serasa sebentar perjalanan kami karena
keasyikan mengobrol.
Di
proses imigrasi Malaysia, aku antri di barisan eh tiba-tiba aku disuruh minta
membawa barang-barang Ibu lagi. Apa bakatku emang kuli? haha. Bahkan salah satu
teman pesawatku bilang, sebelum membantu barang-barang Nenek dan Ibu itu
seharusnya diriku mengecek apakah barang itu tak berbahaya, jika berbahaya
nanti diriku yang akan kena perkara. Aku mengucapkan banyak terimakasih atas
nasihat dan perhatiannya. Betapa polos-sepolosnya diriku.
Petugas
imigrasi bertanya kepadaku dengan logat Melayu yang aku kurang paham maksudnya.
Terjadilah miskomunikasi dengan mereka. Malah aku disalahkan karena tidak paham
mereka sambil menertawakanku dan memperingatkanku agar lain kali membeli tiket
pesawat pulang ke Indonesia. Jelas-jelas sebuah komunikasi itu berhasil jika si
penerima pesan mengerti apa yang disampaikan oleh pemberi pesan.
Setiba
di pintu keluar, aku terkejut rupanya Pak Zulkifli yang tinggal di Ampang,
Malaysia menjemputku dengan mengunakan satu papan nama yang bertuliskan namaku
yang salah plus nama Ayahku. Kali ini kumaafkan. Biasanya aku paling cerewet
jika namaku salah. Haha. Karena itu pemberian Ayahku yang penuh pengorbanan
selama ini kepadaku. Dia beralasan lupa wajahku. Kami terakhir bertemu di rumah
ortuku di Padang sewaktu aku masih remaja. Sekarang kan masih remaja juga. haha. Aku masih ingat
wajah beliau. Yang menjemputku Pak Zul, Yusuf (anak bungsunya yang lagi ABG)
dan Zizi pun menjadi supir dai mobil kebanggan Malaysia Proton (anak dari Tante
Tini yang tinggal di Gombak).
Pak Zul rajin menanyai tentang diriku di atas
mobil, sedangkan Yusuf sibuk dengan musik yang dipasang melalui HP dan Zizi
asyik menelpon rekan kerjanya. Pak Zul pun berperan sebagai tour guideku di
Malaysia. Dia mempresentasikan jalan-jalan di Malaysia dengan lengkapnya
beserta sejarahnya. Setiba di rumah Pak Zul di Ampang, Yusuf yang paling getol
agar kita segera makan. Karena tidak enak dengan Tante Nu yang telah membuatkan
masakan yang enak, terpaksa kubatalkan puasaku.
Setelah
makan, Pak Zul berkisah tentang keluarga besarnya yang mempunyai 8 orang anak
dan 9 cucu serta memberi foto keluarganya sebagai kenang-kenangan, begitu juga
dengan diriku beserta tandatanganku. Beliau pun bercerita mengenai
pengalamannya naik haji dengan detil dan rizki yang sangat mengejutkan yang
dialami oleh anaknya yang Dhuha yang terpilih naik haji secara tiba-tiba. Aku
pun termotivasi untuk segera naik haji. Semoga aku dimampukan oleh-Nya. AAMIIN.
Beliau berkata orang Indonesia banyak yang menjadi Ustadz di tanah suci dan
sangat iba dengan fasilitas yang minim yang didapatkan oleh orang Indonesia
selama berhaji mulai dari makan, penginapan dll. Di rumahnya sedang diputarkan
siaran TV Malaysia. Rupanya Malaysia sedang merayakan hari kemerdekaannya dan
hari koperasi.
Aku
shalat Dzuhur di masjid belakang rumah Pak Zul yang diantarin oleh Am, cucu Pak
Zul. Di sana aku seakan shalat multikultural dimana jama’ahnya multi etnis. Pak
Zul pun mengantar diriku untuk membeli pulsa perdana Maxis senilai 5RM agar
memudahkan komunikasi di antara kami. Kemudian, aku yang ngantuk berat diantar
oleh Zizi ke rumahnya di Gombak. Aku dikenalin oleh Tante Tini dengan para
hadirin dalam rangka acara mendo’a almarhum suaminya, Om Othman. Mendengar
percakapan para hadirin ini sangat lucu sekali karena biasanya aku mendengar
bahasa Indomi (bahasa campuran Indonesia Minang) sekarang bahasa Memi (Melayu
Minang).haha.
Aku
shalat maghirb berjama’ah di Surau depan rumah Tante Tini. Aku berkenalan
dengan Pak Ramli, salah satu pengurus Surau yang mewah dan bersih menurutku.
Ayahnya orang Langkat tetapi dia tidak kenal sanak saudaranya lagi. Ibunya
orang Johor. Setelah shalat Maghrib berjama’ah, diadakan kajian. Aku jadi ingat
antusiasme masjid di Jogja dalam mengadakan kajian. Isya berjama’ah di Masjid
ini pun aku tempuh. Lalu, aku pun menuliskan tulisan ini sekedar berbagi
kesalahanku kepada teman-teman agar teman-teman tak mengulangi kesalahanku.
AAMIIN. Selama penulisan ini, aku pun dilanda kelaparan. Aku pun makan masakan
yang hampir mirip masakan Minang tapi rasa Malaysia ditemani oleh Tante Tini.
Di dalam hatiku, aku merasa tak enak hati karena merepotkan mereka. Aku harus
segera menyelesaikan misi ini dan kembali ke Jogja. Aku pun minta tolong
dicariin tiket KL-Jogja Sabtu ini. ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar