Sabtu, 22 Maret 2014

Padang-Bukittinggi via Maninjau dan Bukittinggi-Padang via Silaing (Serial Musafir Cinta)

Tanggal 9 Agustus 2013 hari kedua di bulan Syawal, aku diajak pergi jalan-jalan oleh Emakku bersama Om Bas dan Tante Evi dengan mobil APV, kepunyaan Emakku. Setelah shalat Shubuh berjama’ah bersama Ayah dan adikku Soni, aku pun bersiap-siap untuk mandi dan berpakaian. Ketika aku mau berpakaian, Om Bas dan Tante Evi sudah tiba di rumah orangtuaku. Tapi sayang sekali kami harus menunggu beberapa menit karena Emakku mengantarkan Ayahku untuk jualan di Pasar Lubuk Buaya, sekitar 5-10 menit naik motor dari rumah orangtuaku. Ayahku tetap berjualan karena kata dia ini peluang tidak ada saingan karena yang lain belum buka. Itu terbukti benar, hasil penjualan barang sehari-hari yang biasanya 7 jutaan, pada saat itu bahkan melebihi 10 juta. Selain Ayahku yang tidak pergi jalan-jalan, ada adikku Nila yang masih kecapekan akibat begadang ngonline dan adikku Harlan yang hobinya main PS. Adikku Soni juga ikut walaupun setelah pulang dari jalan-jalan masuk angin sampai keesokan harinya. Akhirnya, setelah menelpon Ayahku, kami pergi ke Pasar Lubuk Buaya untuk menjemput Emakku.
Kami memutuskan menuju Bukittinggi melalui Maninjau. Tapi sebelum itu, kami berhenti di Sungai Limau di daerah Kabupaten Padang Pariaman alias Orange River, kampung halaman Ayahku walaupun Ayahku tidak ikut. Aku belum pernah ke rumah orangtua Ayahku sejak kejadian gempa besar yang melanda kota Padang dan Kabupaten Padang Pariaman beberapa tahun yang lalu. Biasanya setiap tahun, kami selalu ke sini. Gempa ini juga memakan Kakekku yakni Ayah dari Ayahku. Beliau yang berumur 80 tahunan tertimpa bangunan yang rapuh. Beliau sempat dirawat di rumah sakit dan menginap di rumah orangtuaku di Padang. Akan tetapi, jika Allah telah memanggilnya, siapa yang akan mampu menghalangi. Beliau meninggal di rumah orangtuaku di Padang. Sayang sekali, aku tak bisa datang di pemakaman beliau karena kuliah yang tak bisa ditinggalkan. Aku merasa tak enak hati karena beliau dulu sangat bangga aku kuliah di UGM. Tapi apa daya, aku hanya bisa menitipkan sebuah do’a.  Bagi yang membaca, mohon do’anya sejenak saja agar Kakekku didalam lindungan rahmat-Nya di alam sana. AAMIIN.Terimakasih atas do’anya. Semoga Kakek yang mendo’akan pun dirahmati oleh-Nya.AAMIIN.
Rumah yang luas ketika aku masih kecil sering menginap di sana yang terkesan menakutkan sekarang telah berubah menjadi rumah yang kecil dengan pekarangannya masih menyimpan berbagai tanaman yang bermanfaat sehari-hari seperti kunyit, rimbang, kemangi, mahkota dewa serta yang berbeda adalah beberapa ayam kampung yang dipelihara. Jujur aku juga menginginkan rumah yang dimana ketika kita sakit, kita cukup ambil di pekarangan kita atau memenuhi kebutuhan makan kita sehari-hari. Tidak mengandalkan supermarket dengan berbagai makanan instan yang beracun bagi tubuh kita serta obat-obat kimiawi yang berbahaya. Alhamdulillah, sejak aku kuliah ditambah belajar ilmu hypnosis dari seniorku di Koperasi “Kopma UGM” yakni Mas Hendri Harjanto dan Mas Bayu Satriyo Wicaksono, aku sangat jarang meminum obat kimia untuk meredakan sakit. Aku cukup meredakan sakit dengan makan, istirahat dan minum air mineral serta menggunakan ilmu hypnosis yang kupelajari dan mendekatkan diri kepada Allah. Alhamdulillah, diriku sembuh karena Allah. Obat itu ada di diri kita yang telah diciptakan oleh Allah.
Aku disambut oleh Uncu, adik Ayahku yang paling bungsu, dengan beberapa panganan khas Lebaran. Rupanya, keluarga adik dan kakak Ayahku ini shalat Idul Fitrinya adalah hari Jum’at ini dan kami datang pada saat mereka shalat. Kami telah menunggu beberapa waktu tapi mereka belum menampakkan batang hidungnya. Terpaksa kami melanjutkan perjalanan menuju Bukittinggi.  Kami melewati Danau Maninjau yang sudah dipenuhi oleh pengunjung yang ingin menikmati keseksian Maninjau di hari Lebaran. Danau Maninjau dikelilingi oleh bukit-bukit. Terpikir olehku untuk mendaki bukit dan menaiki lembah yang indah itu. Menikmati ciptaan-Nya sehingga aku lebih bersyukur kepada-Nya.
Aku melewati kampung halaman Uda Ahmad Fuadi, penulis favoritku yang merupakan penulis novel Negeri 5 Menara, yakni Bayua. Aku berhenti di sana karena adikku kebelet pipis, aku pun juga. Kami pun berhenti di salah satu masjid yang cukup bagus dan WCnya sangat bersih. Jarang aku mendapati WC Masjid yang sebersih ini. Salah satu indikator yang aku buat sendiri bahwa sebuah kampung yang mempunyai banyak perantau kaya nan dermawan adalah dari Masjidnya.
Karena pada hari itu adalah hari Jum’at, kami pun mencari masjid yang mengadakan shalat Jum’at. Akan tetapi sangat sulit kami temui karena setiap kami berhenti Masjid, Masjid tersebut tutup. Aku berprasangka mungkin saja mereka berhari raya sekarang dan tidak mengadakan shalat Jum’at. Ketika kami menemui sebuah masjid eh tidak ada parkirnya dan menimbulkan kemacetan. Akhirnya, kami memutuskan tidak shalat Jum’at dan mengambil fasilitas kemudahan dari Allah sebagai musafir. Kami baru shalat Dzuhur sekaligus dijamak qashar dengan Ashar setelah sampai di Bukittinggi.
Kami membeli makan di daerah Jam Gadang kota Bukittinggi yang penuh disesaki kendaraan dan orang. Kami juga kesulitan mencari parkir eh pas dapat parkir kami kena 5 ribu rupiah. Dalam hatiku, mau kuhajar juga petugas parkirnya yang sebaya dengan adikku Harlan yang mirip Zayn Malik karena mengambil kesempatan dalam kesempitan orang karena biasanya biaya parkir Cuma 2 ribu rupiah. Tapi kuurungkan niatku, lebih baik bersabar. Emakku, Tante Evi dan Om Bas yang membeli nasi kapau seharga 25 ribu rupiah sedangkan aku dan adikku Soni menjaga mobil. Mahal nian nasi kapau ini daripada nasi rames biasa seharga 10 ribu rupiah apalagi porsinya juga sedikit. Benar-benar ekonomi buanget, ketika permintaan naik karena banyak penikmat liburan, harganya langsung naik drastis.
Nah, muncul permasalahan berikutnya, mau makan dimana? Masak jauh-jauh dari Padang, ke Bukittinggi hanya membeli nasi kapau saja. Akhirnya, setelah berunding, kami memutuskan makan di Panorama sambil menikmati keindahan ciptaan-Nya yakni Ngarai Sianok. Dengan harga tiket 8 ribu rupiah per orang, kami masuk dan mencari tempat lesehan untuk makan. Pemandangan yang sangat menakjubkan melihat Ngarai Sianok plus dapat melihat gadis cantik berseliweran di depan mataku. Astaghfirullah.^_^
Setelah makan dan adikku Soni Sang Fotografer memfoto pemandangan ini, kami pun pulang ke Padang setelah menanyakan kepada Om Ben vai telpon yang melewati daerah Silaing apakah jalan di sana baik-baik saja, maklum di salah satu sisinya jurang sedangkan sisi yang lain tebing yang gampang longsor. Om Ben bilang kondisi Silaing baik-baik saja dan kami pun langsung meluncur pulang.
Ketika kami melintasi Silaing luar biasa buanget yakni daerahnya berkabut dan kadang-kadang aku mendengar kerikil mengenai atap mobil. Culup berbahaya juga ini. Alhamdulillah, Allah masih memberikan perlindungan-Nya kepada kami. Keesokan harinya, aku melihat di twitter bahwa ada mobil masuk jurang. Aku sangat bersyukur selamat sejahtera melewati daerah tersebut. Aku sejak kecil memang sangat suka melihat pemandangan Silaing yang indah karena ada air terjun, sungai yang jeram serta penjual pergedel jagung panas yang enak. Sejak aku TK sampai SD, orangtuaku tinggal dan bekerja di kota Padang Panjang dekat Silaing. Aku kelas 1 dan 2 SD di SD 09 Padang Panjang dan kelas 3-6 SD di SD 27 kota Padang, dekat rumah nenekku. Aku tinggal bersama nenekku. Dan di kelas 6 SD, aku sering ke Padang Panjang akhir pekan dengan naik bus ANS, cukup membayar 3 ribu rupiah. Sejak kecil aku memang sudah jadi musafir cinta. Haha.^_^

Kami tiba di Padang sekitar jam 7 malam. Setibanya, aku pun shalat Isya yang dijamak qashar dengan Maghrib bersama adikku. Setelah itu, diriku langsung tepar, tanpa makan malam. Semoga kisah Lebaranku ini bisa bermanfaat bagi semua dalam menyikapi persoalan di sekitarmu. AAMIIN. Ditunggu kisah Lebaranmu, Teman. ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar