Tanggal 9 Agustus
2013 hari kedua di bulan Syawal, aku diajak pergi jalan-jalan oleh Emakku
bersama Om Bas dan Tante Evi dengan mobil APV, kepunyaan Emakku. Setelah shalat
Shubuh berjama’ah bersama Ayah dan adikku Soni, aku pun bersiap-siap untuk
mandi dan berpakaian. Ketika aku mau berpakaian, Om Bas dan Tante Evi sudah
tiba di rumah orangtuaku. Tapi sayang sekali kami harus menunggu beberapa menit
karena Emakku mengantarkan Ayahku untuk jualan di Pasar Lubuk Buaya, sekitar
5-10 menit naik motor dari rumah orangtuaku. Ayahku tetap berjualan karena kata
dia ini peluang tidak ada saingan karena yang lain belum buka. Itu terbukti
benar, hasil penjualan barang sehari-hari yang biasanya 7 jutaan, pada saat itu
bahkan melebihi 10 juta. Selain Ayahku yang tidak pergi jalan-jalan, ada adikku
Nila yang masih kecapekan akibat begadang ngonline dan adikku Harlan yang
hobinya main PS. Adikku Soni juga ikut walaupun setelah pulang dari jalan-jalan
masuk angin sampai keesokan harinya. Akhirnya, setelah menelpon Ayahku, kami
pergi ke Pasar Lubuk Buaya untuk menjemput Emakku.
Kami memutuskan
menuju Bukittinggi melalui Maninjau. Tapi sebelum itu, kami berhenti di Sungai
Limau di daerah Kabupaten Padang Pariaman alias Orange River, kampung halaman
Ayahku walaupun Ayahku tidak ikut. Aku belum pernah ke rumah orangtua Ayahku
sejak kejadian gempa besar yang melanda kota Padang dan Kabupaten Padang
Pariaman beberapa tahun yang lalu. Biasanya setiap tahun, kami selalu ke sini.
Gempa ini juga memakan Kakekku yakni Ayah dari Ayahku. Beliau yang berumur 80
tahunan tertimpa bangunan yang rapuh. Beliau sempat dirawat di rumah sakit dan
menginap di rumah orangtuaku di Padang. Akan tetapi, jika Allah telah
memanggilnya, siapa yang akan mampu menghalangi. Beliau meninggal di rumah
orangtuaku di Padang. Sayang sekali, aku tak bisa datang di pemakaman beliau
karena kuliah yang tak bisa ditinggalkan. Aku merasa tak enak hati karena
beliau dulu sangat bangga aku kuliah di UGM. Tapi apa daya, aku hanya bisa
menitipkan sebuah do’a. Bagi yang membaca,
mohon do’anya sejenak saja agar Kakekku didalam lindungan rahmat-Nya di alam
sana. AAMIIN.Terimakasih atas do’anya. Semoga Kakek yang mendo’akan pun
dirahmati oleh-Nya.AAMIIN.
Rumah yang luas
ketika aku masih kecil sering menginap di sana yang terkesan menakutkan
sekarang telah berubah menjadi rumah yang kecil dengan pekarangannya masih
menyimpan berbagai tanaman yang bermanfaat sehari-hari seperti kunyit, rimbang,
kemangi, mahkota dewa serta yang berbeda adalah beberapa ayam kampung yang
dipelihara. Jujur aku juga menginginkan rumah yang dimana ketika kita sakit,
kita cukup ambil di pekarangan kita atau memenuhi kebutuhan makan kita
sehari-hari. Tidak mengandalkan supermarket dengan berbagai makanan instan yang
beracun bagi tubuh kita serta obat-obat kimiawi yang berbahaya. Alhamdulillah,
sejak aku kuliah ditambah belajar ilmu hypnosis dari seniorku di Koperasi
“Kopma UGM” yakni Mas Hendri Harjanto dan Mas Bayu Satriyo Wicaksono, aku
sangat jarang meminum obat kimia untuk meredakan sakit. Aku cukup meredakan
sakit dengan makan, istirahat dan minum air mineral serta menggunakan ilmu
hypnosis yang kupelajari dan mendekatkan diri kepada Allah. Alhamdulillah,
diriku sembuh karena Allah. Obat itu ada di diri kita yang telah diciptakan
oleh Allah.
Aku disambut oleh
Uncu, adik Ayahku yang paling bungsu, dengan beberapa panganan khas Lebaran.
Rupanya, keluarga adik dan kakak Ayahku ini shalat Idul Fitrinya adalah hari
Jum’at ini dan kami datang pada saat mereka shalat. Kami telah menunggu
beberapa waktu tapi mereka belum menampakkan batang hidungnya. Terpaksa kami
melanjutkan perjalanan menuju Bukittinggi.
Kami melewati Danau Maninjau yang sudah dipenuhi oleh pengunjung yang
ingin menikmati keseksian Maninjau di hari Lebaran. Danau Maninjau dikelilingi
oleh bukit-bukit. Terpikir olehku untuk mendaki bukit dan menaiki lembah yang
indah itu. Menikmati ciptaan-Nya sehingga aku lebih bersyukur kepada-Nya.
Aku melewati
kampung halaman Uda Ahmad Fuadi, penulis favoritku yang merupakan penulis novel
Negeri 5 Menara, yakni Bayua. Aku berhenti di sana karena adikku kebelet pipis,
aku pun juga. Kami pun berhenti di salah satu masjid yang cukup bagus dan WCnya
sangat bersih. Jarang aku mendapati WC Masjid yang sebersih ini. Salah satu
indikator yang aku buat sendiri bahwa sebuah kampung yang mempunyai banyak
perantau kaya nan dermawan adalah dari Masjidnya.
Karena pada hari
itu adalah hari Jum’at, kami pun mencari masjid yang mengadakan shalat Jum’at.
Akan tetapi sangat sulit kami temui karena setiap kami berhenti Masjid, Masjid
tersebut tutup. Aku berprasangka mungkin saja mereka berhari raya sekarang dan
tidak mengadakan shalat Jum’at. Ketika kami menemui sebuah masjid eh tidak ada
parkirnya dan menimbulkan kemacetan. Akhirnya, kami memutuskan tidak shalat
Jum’at dan mengambil fasilitas kemudahan dari Allah sebagai musafir. Kami baru
shalat Dzuhur sekaligus dijamak qashar dengan Ashar setelah sampai di
Bukittinggi.
Kami membeli makan
di daerah Jam Gadang kota Bukittinggi yang penuh disesaki kendaraan dan orang.
Kami juga kesulitan mencari parkir eh pas dapat parkir kami kena 5 ribu rupiah.
Dalam hatiku, mau kuhajar juga petugas parkirnya yang sebaya dengan adikku
Harlan yang mirip Zayn Malik karena mengambil kesempatan dalam kesempitan orang
karena biasanya biaya parkir Cuma 2 ribu rupiah. Tapi kuurungkan niatku, lebih
baik bersabar. Emakku, Tante Evi dan Om Bas yang membeli nasi kapau seharga 25
ribu rupiah sedangkan aku dan adikku Soni menjaga mobil. Mahal nian nasi kapau
ini daripada nasi rames biasa seharga 10 ribu rupiah apalagi porsinya juga
sedikit. Benar-benar ekonomi buanget, ketika permintaan naik karena banyak
penikmat liburan, harganya langsung naik drastis.
Nah, muncul
permasalahan berikutnya, mau makan dimana? Masak jauh-jauh dari Padang, ke
Bukittinggi hanya membeli nasi kapau saja. Akhirnya, setelah berunding, kami
memutuskan makan di Panorama sambil menikmati keindahan ciptaan-Nya yakni
Ngarai Sianok. Dengan harga tiket 8 ribu rupiah per orang, kami masuk dan
mencari tempat lesehan untuk makan. Pemandangan yang sangat menakjubkan melihat
Ngarai Sianok plus dapat melihat gadis cantik berseliweran di depan mataku.
Astaghfirullah.^_^
Setelah makan dan
adikku Soni Sang Fotografer memfoto pemandangan ini, kami pun pulang ke Padang
setelah menanyakan kepada Om Ben vai telpon yang melewati daerah Silaing apakah
jalan di sana baik-baik saja, maklum di salah satu sisinya jurang sedangkan
sisi yang lain tebing yang gampang longsor. Om Ben bilang kondisi Silaing
baik-baik saja dan kami pun langsung meluncur pulang.
Ketika kami
melintasi Silaing luar biasa buanget yakni daerahnya berkabut dan kadang-kadang
aku mendengar kerikil mengenai atap mobil. Culup berbahaya juga ini.
Alhamdulillah, Allah masih memberikan perlindungan-Nya kepada kami. Keesokan
harinya, aku melihat di twitter bahwa ada mobil masuk jurang. Aku sangat
bersyukur selamat sejahtera melewati daerah tersebut. Aku sejak kecil memang
sangat suka melihat pemandangan Silaing yang indah karena ada air terjun,
sungai yang jeram serta penjual pergedel jagung panas yang enak. Sejak aku TK
sampai SD, orangtuaku tinggal dan bekerja di kota Padang Panjang dekat Silaing.
Aku kelas 1 dan 2 SD di SD 09 Padang Panjang dan kelas 3-6 SD di SD 27 kota
Padang, dekat rumah nenekku. Aku tinggal bersama nenekku. Dan di kelas 6 SD, aku
sering ke Padang Panjang akhir pekan dengan naik bus ANS, cukup membayar 3 ribu
rupiah. Sejak kecil aku memang sudah jadi musafir cinta. Haha.^_^
Kami tiba di Padang
sekitar jam 7 malam. Setibanya, aku pun shalat Isya yang dijamak qashar dengan
Maghrib bersama adikku. Setelah itu, diriku langsung tepar, tanpa makan malam.
Semoga kisah Lebaranku ini bisa bermanfaat bagi semua dalam menyikapi persoalan
di sekitarmu. AAMIIN. Ditunggu kisah Lebaranmu, Teman. ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar