Ba’da
Shubuh berjama’ah di Surau, aku pun mandi lebih dulu agar tidak merepotkan
anggota keluarga Tante Tini. Harap maklum aku mandi butuh waktu 30 menit karena
sekalian “nongkrong”. Kalau aku sedang bekerja bersama Bu Yuni dan kami 1
rumah, pasti aku selalu kena marah dan langganan diketok karena lama buanget
mandinya sedangkan kita mau berangkat kerja pagi-pagi sekitar pukul 2 pagi.
Makanya aku selalu sadar diri dengan mandi di Masjid karena bebas dan boleh
berlam-lama. Haha. Itulah kolaborasi kepentingan pribadi dengan umum sejalan.
Setelah mandi, aku duduk
di depan istri pertamaku yakni melihat media sosial dan alamat di Malaysia yang
akan kukunjungi. Target utamaku yakni Kementerian Pelancongan Malaysia.
Tentunya, aku tak mungkin ke sana pada hari Minggu ini. Insya Allah, besok
Senin aku ke sana. Agendaku hari Minggu ini me-“nyasar”-kan diriku di Kuala
Lumpur karena dengan itu aku bisa hafal Kuala Lumpur. Ibarat aku melakukan
kesalahan maka diriku tak akan mengulanginya dan diriku menjadi mahir.
Sayang
sekali, baterai istri pertamaku habis dan yang membuatku pusing adalah colokan
listrik di Malaysia berbeda dengan Indonesia. Colokan Indonesia bulat dan besar
sedangkan di Malaysia 3 lobangnya dan berbentuk persegi panjang. Aku pun
beralih ke luar untuk melihat pemandangan pagi hari di Malaysia. Tante Tini
mengatakan bahwa keluarga dari Jakarta bilang tempat ini nyaman dan asri.
Yaiyalah, masih ada suara jangkrik di malam hari dan suara burung di pagi hari.
Aku menanyakan kepada Tante Tini sudah berapa lama dia tinggal di sini.
Rupanya, rumah ini merupakan rumah pusaka dari almarhum suaminya, Om Othman.
Samping kanan dan kiri rumah ini adalah rumah keluarga almarhum suaminya.
Tante
Tini berdagang di Pasar Gombak berjualan pakaian muslim dan kebutuhan haji
serta umroh sejak tahun 1980an. Beliau pergi ke Malaysia di tahun 1970an.
Sampai sekarang beliau masih berdagang dari jam 9 pagi sampai jam 5 waktu
Malaysia. Itulah obrolan pagiku bersama Tante di depan teras rumahnya sambil
menghirup udara segar Malaysia. Ngomong-ngomong tentang udara, aku jadi ingat
perkataan Pak Zul tentang ekspor asap dari hutan Riau ke Malaysia yang menyebabkan
asma warga negara Malaysia. Demi menjaga hatinya, aku berdiam saja karena aku
tahu bahwa banyak perusahaan Malaysia dan Singapura yang membakar hutan
Sumatera. I’m sorry to say that. Aku berkata maaf ini dikarenakan menjaga
persahabatanku dengan warga negara Malaysia. Seorang sahabat harus berkata
jujur walaupun itu pahit dan mengoreksi sahabatnya.
Aku
meminta izin kepada Tante Tini untuk menjemur pakaianku. Beliau berkata biar
dia yang mencuci pakaianku menggunakan mesin cuci, aku pun menolaknya. Aku
sudah terbiasa mencuci dengan mengucek. Masak aku yang menggunakan, aku
menelantarkannya. Jangan habis manis sepah dibuang. Aku pun mencuci dan
menjemurnya di depan teras. Hatiku senang karena sekali lagi tak merepotkan
orang.
Sesudah
mencuci, monster di perutku menggeliat. Aku pun mengambil segelas air dan
beberapa kue coklat yang uenak. Bikin ketagihan. Tapi memang keterlaluan
monster ini, aku pun sarapan. “Ingat sarapan ya, San”, itu kata Ayahku. Aku
sarapan ditemani oleh Tante Tini. Setelah sarapan, aku pamit ke KL Sentral
dengan bus. Beliau pun menyodorkan uang pecahan kecil untuk uang bus, aku
menolak dengan malu tapi apa daya beliau merayuku bahwa nanti uang pecahan
besar yang kupegang tidak akan diterima. Terpaksa aku menerima pemberian beliau
dengan berat hati.
Dengan
hati riang gembira, aku pun berjalan menuju halte bus. Pertama, aku mau naik
Rapid KL tapi supirnya bilang Cuma sampai Central KL, bukan KL Sentral
tujuanku. Lalu aku turun segera. Kemudian naik Metro Bus. Aku pun bertanya apa
mau ke KL Sentral. Jawabannya sama dengan supir Rapid KL. Yasudahlah,ntar aku
jalan kaki saja ke KL sentral. Namanya juga menyasarkan diri. haha.^_^
Metro
Bus ini cukup bersih dan dingin seperti Trans Jogja atau Trans Jakarta tapi
bedanya tidak padat penumpangnya. Penumpangnya semua duduk dan masih banyak
kursi yang kosong. Mungkin karena aku naiknya pada saat hari libur. Besok coba
aku cek kembali. “Harga tiket ke Central Market 2,5 RM”, kata kernetnya
kepadaku. Kusodorkan uang 5RM pemberian Tante Tini dan dikembalikan 2,5 RM. Aku
dapat uang 50 sen.
Kurang
dari 1 jam, aku sudah sampai di Sentral Market. Selama perjalanan, aku
menghafal nama-nama gedung yang dilewati agar aku tidak nyasar. hihi. Di jalanan Malaysia
sangat rapi khususnya marka jalan. Jalanan disesaki oleh metro bus, rapid KL
dan mobil pribadi yang berukuran kecil serta hanya segelintir sepeda motor.
Berbanding terbalik
dengan kondisi Indonesia. Ada lampu merah untuk pejalan kaki dan yang paling
kusuka adalah trotoar yang nyaman untuk pecinta jalan kaki seperti diriku.
Aku
mencari Masjid untuk shalat Dhuha dan “nyetor” tapi sulit sekali aku mencarinya
di sekitar Central Market yang dikelilingi toko-toko komersil. Masak aku
“nyetor” harus makan di makanan kapitalis yang mahal dan tidak sehat dulu. haha. Aku bertanya kepada Satpam
di jalan. Dia merekomendasikan di Masjid Jamek. Aku pun ke sana tapi tutup
dikarenakan sedang direnovasi. Tiba-tiba ada yang turis menanyakan suatu nama
gedung kepadaku. Aku hanya bisa menjawab,” I don’t know. I’m from Indonesia.”
Aku berkata seperti itu biar turisnya juga datang ke Indonesia. Afdhal Ikhsan
Sang Marketer Indonesia. ^_^
Aku
pun berlari ke sebuah stasiun kereta dan menanyakan kepada seorang Bapak dimana
toiletnya. Dia menjawab di Malaysia memang susah menemukan toilet. Kalaupun
ada, itu pun bayar. Kalau di Indonesia, Alhamdulillah, gampang bisa gedor rumah
orang atau pura-pura masuk kantor orang. Nah, aku khawatir nanti aku melakukan
seperti itu, bisa berurusan dengan polisi Malaysia karena menganggu ketertiban
umum. Orang sepertiku ini agak susah hidup di Malaysia yang tertib. Jika tidak
tertib maka denda atau bisa kena tuduhan gangguan keamanan. Dalam pikiranku,
pemerintah Malaysia ini mendewakan ketertiban dan keamanan demi pembangunan
ekonomi. Kalau bahasa ekstremku, Malaysia dikungkung oleh rezim Orde Baru
Indonesia. Makanya salah satu kendala skripsiku yakni data di website Malaysia
menonjolkan kelebihan pariwisata Malaysia terus. Sedangkan dosenku meminta
kelemahannya dan bagaimana Malaysia menyiasatinya. Sangat berkebalikan di
Indonesia yang vulgar memamerkan kekurangannya. Aku pun menemukan WC umum tapi
berbayar yakni 20 senRM. Yang ini, sama aja dengan Indonesia.
Setelah
berkeliling, aku menemukan sebuah kata-kata Free yakni di KL Gallery. Gratis
masuk. Maka kugunakan untuk kesempatan “nyetor”. Lega rasanya. Kemudian, aku
pun menikmati pameran foto Kuala Lumpur dari masa ke masa. Ternyata oh
ternyata, Kuala Lumpur itu nama populer dari Sungai Gombak. Sungainya dipenuhi
lumpur. Di tahun 1971, pernah terjadi banjir besar di Kuala Lumpur. Aku melihat
foto itu teringat Jakarta yang tenggelam oleh banjir beberapa tahun yang lalu.
40 tahun kemudian Kuala Lumpur seperti ini. Apakah Jakarta butuh waktu kurang
atau lebih dari 40 tahun untuk berbenah seperti Kuala Lumpur?
Dari
desain tata kota Kuala Lumpur ini percampuran gaya Cina, Inggris dan Melayu.
Gaya Inggris membuatku tersadar dari film kartun Detective Conan dimana ada
seorang arsitektur Jepang yang meledakkan hasil karya arsitekturnya untuk
memuaskan gaya arsitekturnya yang simetris dan telah merancang kota yang
simetris. Sekilas mirip buanget dengan KL ketika aku kemarin mendarat di KL,
aku melihat kerapian itu. Tata kota masa depan KL pun tak kalah luar biasa dari
sekarang. Di Tahun 2015, dia akan membangun 2 gedung pencakar langit yang lebih
tinggi dari Petronas Twin Tower. Aku juga melihat maket kota KL dengan dihiasi
permainan lampu yang menarik di ruang gelap serta tidak lupa terselip promosi
pariwisata KL oleh penyiar TV terkenal di Malaysia.
Aku pun terpukau dengan kerapian sebuah
kerajinan yang dijadikan souvenir kahas dari KL Gallery ini yang dijual cukup
mahal menurutku tapi sebanding dengan tingkat kerumitan pembuatannya. Mereka
memamerkan tukangnya yang sedang membuat kerajinan tersebut. Di antara souvenir
itu ada souvenir wayang, kebaya dan rumah yang mirip dengan rumah Gadang di
Minangkabau yakni rumah adat di Negeri Sembilan. Yaiyalah, dulunya kan termasuk
Minangkabau. Suku-suku bangsa di dunia ini banyak dipecah oleh orang Barat mulai
dari orang Afrika termasuk Indonesia. Setelah itu, saatnya menghabiskan uang
untuk membeli souvenir yang mahal itu. Sayang sekali, aku tak mampu membelinya.
Aku beristirahat di sana sambil melihat interaksi pembeli yang memilih
souvenir, berfoto, mengobrol dengan wisatawan yang lain. Pengunjungnya
benar-benar internasional dan tentunya ada orang Indonesia. Dan tetap membahas
kasus Malaysia dengan Indonesia bersama tour guide dari Malaysia terkait budaya
seperti wayang. Aku pun fokus kepada buku yang berkisah tentang batik.
Penulisnya terinspirasi ketika di Jogja. Bukunya berisi foto-foto dan kisahnya
dan itu dijual mahal. Ini baru namanya nilai tambah.
Aku
shalat Dzuhur dan Ashar di Masjid Nasional. Aku istirahat di Masjid ini setelah
berpusing-pusing ria. Di Masjid ini ada tulisan besar dilarang tidur, aku tetap
tidur tapi dengan cara bersandar di tiang Masjid. Alhamdulillah, petugas yang
jaga tidak marah. Baru kali ini aku melihat ada Masjid dijagain betul.
Bayangkan saja, turis memfoto keindahan interior dalam Masjid ini langsung
ditegur khususnya satpam Ibu. Kalau satpam Bapaknya, Cuma menakut-nakuti dengan
kumisnya yang lebat. Aku juga pengen kumis yang lebat plus jenggot. Yang
herannya masih ada wisatawan yang ngotot untuk mengambil foto.
Wisatawan
non muslim pun boleh masuk asalkan menutup aurat dengan dipinjami baju lebar
yang dilengkapi oleh kerudung, kalau bahasa kitanya jilbab. Aku terpesona
melihat bule-bule memakai itu. Andaikan dunia ini seperti itu, tentramlah
mataku. Ada kejadian lucu, ada seorang ibu dan 1 anak perempuannya yang masih
remaja serta 1 anak lelaki yang mirip Shinchan bersujud lari-lari langsung
sujud di dalam masjid dan tanpa menutup aurat. Mereka sepertinya berasal dari
China atau Jepang. Lalu duduk terdiam beberapa waktu lalu keluar. Silahkan
tafsirkan sendiri kejadian tersebut, Sahabat. Haha.^_^
Masjid
Negara itu semacam Istiqlalnya Malaysia. Kalau boleh aku mengkritisi, ada
beberapa hal yang mubadzir menurutku seperti lampu yang mewah dihidupkan di
siang hari. Ini pendapat dan prediksiku, masjid ini hanya ramai pada saat hari
raya, sholat Jum’at dan acara besar lainnya. Indikator makmurnya suatu masjid
menurutku bukan pada letak mewah atau indahnya Masjid tapi ramainya jama’ah
yang sholat dan kegiatan yang diadakan di sana. Bukankah di surah At-Takatsur
telah dijelaskan agar tidak bermegah-megahan? Aku berbaik sangka ini sebagai
syiar bahwa Islam itu kaya tapi biarlah Islam menjadi sederhana. Yang penting
jama’ah sejahtera secara fisik dan jiwanya. Lagi-lagi Masjid Negara ini adalah
sebuah objek wisata Malaysia untuk menggaet wisatawan internasional. Dan
terbukti banyak yang mengunjunginya. Masjid di Indonesia juga banyak dikunjungi
wisatawan internasional tapi kebanyakan para Jama’ah Tabligh Internasional dan
masjidnya ya di markas mereka di tiap kota di Indonesia. Akulah salah satu
saksinya. Ini baru makmur.
Tiba-tiba
Pak Zul menelponku agar menghubungi Tante Tini. Tante Tini harap-harap cemas.
Aku pun menghubungi Tante Tini dan bilang aku segera pulang setelah shalat
Ashar di Masjid Negara. Aku diberi petunjuk oleh Allah melalui seorang Bapak
yang menjaga sepatu di Masjid Negara yang menyangka diriku orang Jakarta.
Beliau menunjukiku jalan menuju bus yang mau ke arah Gombak. Melihat sebuah bus
aku langsung naik dan tidak lupa menggosok gigi eh bertanya apa bus ini menuju
Gombak. Supir bus tersebut bilang ini bukan bus menuju Gombak, kalau menuju
Gombak tunggu di depan Bank HSBC. Aku pun jalan ke sana. Dan bus yang kunaiki
pulang ke Gombak ini sama dengan bus sewaktu aku pergi tadi. Masih dengan
kernet yang sama. Seharian full Abang ini kerja jadi kernet dan ditemani oleh
supir perempuan. Benar-benar emansipasi wanita.
Tanda-tanda
jika sudah dekat dengan rumah Tante Tini dan aku memberhentikan bus adalah
sebuah apartemen. Dan aku langsung memencet tombol di atas kepalaku yang
biasanya kalau di bus Indonesia itu adalah tempat bagasi. Busnya berhenti dan
aku pun sampai di rumah Tante Tini dengan selamat. Alhamdulillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar