Minggu, 23 Maret 2014

Hari Kedua : Afdhal Ikhsan Nyasar di Kuala Lumpur (Serial Musafir Cinta)

Ba’da Shubuh berjama’ah di Surau, aku pun mandi lebih dulu agar tidak merepotkan anggota keluarga Tante Tini. Harap maklum aku mandi butuh waktu 30 menit karena sekalian “nongkrong”. Kalau aku sedang bekerja bersama Bu Yuni dan kami 1 rumah, pasti aku selalu kena marah dan langganan diketok karena lama buanget mandinya sedangkan kita mau berangkat kerja pagi-pagi sekitar pukul 2 pagi. Makanya aku selalu sadar diri dengan mandi di Masjid karena bebas dan boleh berlam-lama. Haha. Itulah kolaborasi kepentingan pribadi dengan umum sejalan.
Setelah mandi, aku duduk di depan istri pertamaku yakni melihat media sosial dan alamat di Malaysia yang akan kukunjungi. Target utamaku yakni Kementerian Pelancongan Malaysia. Tentunya, aku tak mungkin ke sana pada hari Minggu ini. Insya Allah, besok Senin aku ke sana. Agendaku hari Minggu ini me-“nyasar”-kan diriku di Kuala Lumpur karena dengan itu aku bisa hafal Kuala Lumpur. Ibarat aku melakukan kesalahan maka diriku tak akan mengulanginya dan diriku menjadi mahir.
Sayang sekali, baterai istri pertamaku habis dan yang membuatku pusing adalah colokan listrik di Malaysia berbeda dengan Indonesia. Colokan Indonesia bulat dan besar sedangkan di Malaysia 3 lobangnya dan berbentuk persegi panjang. Aku pun beralih ke luar untuk melihat pemandangan pagi hari di Malaysia. Tante Tini mengatakan bahwa keluarga dari Jakarta bilang tempat ini nyaman dan asri. Yaiyalah, masih ada suara jangkrik di malam hari dan suara burung di pagi hari. Aku menanyakan kepada Tante Tini sudah berapa lama dia tinggal di sini. Rupanya, rumah ini merupakan rumah pusaka dari almarhum suaminya, Om Othman. Samping kanan dan kiri rumah ini adalah rumah keluarga almarhum suaminya.
Tante Tini berdagang di Pasar Gombak berjualan pakaian muslim dan kebutuhan haji serta umroh sejak tahun 1980an. Beliau pergi ke Malaysia di tahun 1970an. Sampai sekarang beliau masih berdagang dari jam 9 pagi sampai jam 5 waktu Malaysia. Itulah obrolan pagiku bersama Tante di depan teras rumahnya sambil menghirup udara segar Malaysia. Ngomong-ngomong tentang udara, aku jadi ingat perkataan Pak Zul tentang ekspor asap dari hutan Riau ke Malaysia yang menyebabkan asma warga negara Malaysia. Demi menjaga hatinya, aku berdiam saja karena aku tahu bahwa banyak perusahaan Malaysia dan Singapura yang membakar hutan Sumatera. I’m sorry to say that. Aku berkata maaf ini dikarenakan menjaga persahabatanku dengan warga negara Malaysia. Seorang sahabat harus berkata jujur walaupun itu pahit dan mengoreksi sahabatnya.
Aku meminta izin kepada Tante Tini untuk menjemur pakaianku. Beliau berkata biar dia yang mencuci pakaianku menggunakan mesin cuci, aku pun menolaknya. Aku sudah terbiasa mencuci dengan mengucek. Masak aku yang menggunakan, aku menelantarkannya. Jangan habis manis sepah dibuang. Aku pun mencuci dan menjemurnya di depan teras. Hatiku senang karena sekali lagi tak merepotkan orang.
Sesudah mencuci, monster di perutku menggeliat. Aku pun mengambil segelas air dan beberapa kue coklat yang uenak. Bikin ketagihan. Tapi memang keterlaluan monster ini, aku pun sarapan. “Ingat sarapan ya, San”, itu kata Ayahku. Aku sarapan ditemani oleh Tante Tini. Setelah sarapan, aku pamit ke KL Sentral dengan bus. Beliau pun menyodorkan uang pecahan kecil untuk uang bus, aku menolak dengan malu tapi apa daya beliau merayuku bahwa nanti uang pecahan besar yang kupegang tidak akan diterima. Terpaksa aku menerima pemberian beliau dengan berat hati.
Dengan hati riang gembira, aku pun berjalan menuju halte bus. Pertama, aku mau naik Rapid KL tapi supirnya bilang Cuma sampai Central KL, bukan KL Sentral tujuanku. Lalu aku turun segera. Kemudian naik Metro Bus. Aku pun bertanya apa mau ke KL Sentral. Jawabannya sama dengan supir Rapid KL. Yasudahlah,ntar aku jalan kaki saja ke KL sentral. Namanya juga menyasarkan diri. haha.^_^
Metro Bus ini cukup bersih dan dingin seperti Trans Jogja atau Trans Jakarta tapi bedanya tidak padat penumpangnya. Penumpangnya semua duduk dan masih banyak kursi yang kosong. Mungkin karena aku naiknya pada saat hari libur. Besok coba aku cek kembali. “Harga tiket ke Central Market 2,5 RM”, kata kernetnya kepadaku. Kusodorkan uang 5RM pemberian Tante Tini dan dikembalikan 2,5 RM. Aku dapat uang 50 sen.
Kurang dari 1 jam, aku sudah sampai di Sentral Market. Selama perjalanan, aku menghafal nama-nama gedung yang dilewati agar aku tidak nyasar. hihi. Di jalanan Malaysia sangat rapi khususnya marka jalan. Jalanan disesaki oleh metro bus, rapid KL dan mobil pribadi yang berukuran kecil serta hanya segelintir sepeda motor. Berbanding terbalik dengan kondisi Indonesia. Ada lampu merah untuk pejalan kaki dan yang paling kusuka adalah trotoar yang nyaman untuk pecinta jalan kaki seperti diriku.
Aku mencari Masjid untuk shalat Dhuha dan “nyetor” tapi sulit sekali aku mencarinya di sekitar Central Market yang dikelilingi toko-toko komersil. Masak aku “nyetor” harus makan di makanan kapitalis yang mahal dan tidak sehat dulu. haha. Aku bertanya kepada Satpam di jalan. Dia merekomendasikan di Masjid Jamek. Aku pun ke sana tapi tutup dikarenakan sedang direnovasi. Tiba-tiba ada yang turis menanyakan suatu nama gedung kepadaku. Aku hanya bisa menjawab,” I don’t know. I’m from Indonesia.” Aku berkata seperti itu biar turisnya juga datang ke Indonesia. Afdhal Ikhsan Sang Marketer Indonesia. ^_^
Aku pun berlari ke sebuah stasiun kereta dan menanyakan kepada seorang Bapak dimana toiletnya. Dia menjawab di Malaysia memang susah menemukan toilet. Kalaupun ada, itu pun bayar. Kalau di Indonesia, Alhamdulillah, gampang bisa gedor rumah orang atau pura-pura masuk kantor orang. Nah, aku khawatir nanti aku melakukan seperti itu, bisa berurusan dengan polisi Malaysia karena menganggu ketertiban umum. Orang sepertiku ini agak susah hidup di Malaysia yang tertib. Jika tidak tertib maka denda atau bisa kena tuduhan gangguan keamanan. Dalam pikiranku, pemerintah Malaysia ini mendewakan ketertiban dan keamanan demi pembangunan ekonomi. Kalau bahasa ekstremku, Malaysia dikungkung oleh rezim Orde Baru Indonesia. Makanya salah satu kendala skripsiku yakni data di website Malaysia menonjolkan kelebihan pariwisata Malaysia terus. Sedangkan dosenku meminta kelemahannya dan bagaimana Malaysia menyiasatinya. Sangat berkebalikan di Indonesia yang vulgar memamerkan kekurangannya. Aku pun menemukan WC umum tapi berbayar yakni 20 senRM. Yang ini, sama aja dengan Indonesia.
Setelah berkeliling, aku menemukan sebuah kata-kata Free yakni di KL Gallery. Gratis masuk. Maka kugunakan untuk kesempatan “nyetor”. Lega rasanya. Kemudian, aku pun menikmati pameran foto Kuala Lumpur dari masa ke masa. Ternyata oh ternyata, Kuala Lumpur itu nama populer dari Sungai Gombak. Sungainya dipenuhi lumpur. Di tahun 1971, pernah terjadi banjir besar di Kuala Lumpur. Aku melihat foto itu teringat Jakarta yang tenggelam oleh banjir beberapa tahun yang lalu. 40 tahun kemudian Kuala Lumpur seperti ini. Apakah Jakarta butuh waktu kurang atau lebih dari 40 tahun untuk berbenah seperti Kuala Lumpur?
Dari desain tata kota Kuala Lumpur ini percampuran gaya Cina, Inggris dan Melayu. Gaya Inggris membuatku tersadar dari film kartun Detective Conan dimana ada seorang arsitektur Jepang yang meledakkan hasil karya arsitekturnya untuk memuaskan gaya arsitekturnya yang simetris dan telah merancang kota yang simetris. Sekilas mirip buanget dengan KL ketika aku kemarin mendarat di KL, aku melihat kerapian itu. Tata kota masa depan KL pun tak kalah luar biasa dari sekarang. Di Tahun 2015, dia akan membangun 2 gedung pencakar langit yang lebih tinggi dari Petronas Twin Tower. Aku juga melihat maket kota KL dengan dihiasi permainan lampu yang menarik di ruang gelap serta tidak lupa terselip promosi pariwisata KL oleh penyiar TV terkenal di Malaysia.
 Aku pun terpukau dengan kerapian sebuah kerajinan yang dijadikan souvenir kahas dari KL Gallery ini yang dijual cukup mahal menurutku tapi sebanding dengan tingkat kerumitan pembuatannya. Mereka memamerkan tukangnya yang sedang membuat kerajinan tersebut. Di antara souvenir itu ada souvenir wayang, kebaya dan rumah yang mirip dengan rumah Gadang di Minangkabau yakni rumah adat di Negeri Sembilan. Yaiyalah, dulunya kan termasuk Minangkabau. Suku-suku bangsa di dunia ini banyak dipecah oleh orang Barat mulai dari orang Afrika termasuk Indonesia. Setelah itu, saatnya menghabiskan uang untuk membeli souvenir yang mahal itu. Sayang sekali, aku tak mampu membelinya. Aku beristirahat di sana sambil melihat interaksi pembeli yang memilih souvenir, berfoto, mengobrol dengan wisatawan yang lain. Pengunjungnya benar-benar internasional dan tentunya ada orang Indonesia. Dan tetap membahas kasus Malaysia dengan Indonesia bersama tour guide dari Malaysia terkait budaya seperti wayang. Aku pun fokus kepada buku yang berkisah tentang batik. Penulisnya terinspirasi ketika di Jogja. Bukunya berisi foto-foto dan kisahnya dan itu dijual mahal. Ini baru namanya nilai tambah.
Aku shalat Dzuhur dan Ashar di Masjid Nasional. Aku istirahat di Masjid ini setelah berpusing-pusing ria. Di Masjid ini ada tulisan besar dilarang tidur, aku tetap tidur tapi dengan cara bersandar di tiang Masjid. Alhamdulillah, petugas yang jaga tidak marah. Baru kali ini aku melihat ada Masjid dijagain betul. Bayangkan saja, turis memfoto keindahan interior dalam Masjid ini langsung ditegur khususnya satpam Ibu. Kalau satpam Bapaknya, Cuma menakut-nakuti dengan kumisnya yang lebat. Aku juga pengen kumis yang lebat plus jenggot. Yang herannya masih ada wisatawan yang ngotot untuk mengambil foto.
Wisatawan non muslim pun boleh masuk asalkan menutup aurat dengan dipinjami baju lebar yang dilengkapi oleh kerudung, kalau bahasa kitanya jilbab. Aku terpesona melihat bule-bule memakai itu. Andaikan dunia ini seperti itu, tentramlah mataku. Ada kejadian lucu, ada seorang ibu dan 1 anak perempuannya yang masih remaja serta 1 anak lelaki yang mirip Shinchan bersujud lari-lari langsung sujud di dalam masjid dan tanpa menutup aurat. Mereka sepertinya berasal dari China atau Jepang. Lalu duduk terdiam beberapa waktu lalu keluar. Silahkan tafsirkan sendiri kejadian tersebut, Sahabat. Haha.^_^
Masjid Negara itu semacam Istiqlalnya Malaysia. Kalau boleh aku mengkritisi, ada beberapa hal yang mubadzir menurutku seperti lampu yang mewah dihidupkan di siang hari. Ini pendapat dan prediksiku, masjid ini hanya ramai pada saat hari raya, sholat Jum’at dan acara besar lainnya. Indikator makmurnya suatu masjid menurutku bukan pada letak mewah atau indahnya Masjid tapi ramainya jama’ah yang sholat dan kegiatan yang diadakan di sana. Bukankah di surah At-Takatsur telah dijelaskan agar tidak bermegah-megahan? Aku berbaik sangka ini sebagai syiar bahwa Islam itu kaya tapi biarlah Islam menjadi sederhana. Yang penting jama’ah sejahtera secara fisik dan jiwanya. Lagi-lagi Masjid Negara ini adalah sebuah objek wisata Malaysia untuk menggaet wisatawan internasional. Dan terbukti banyak yang mengunjunginya. Masjid di Indonesia juga banyak dikunjungi wisatawan internasional tapi kebanyakan para Jama’ah Tabligh Internasional dan masjidnya ya di markas mereka di tiap kota di Indonesia. Akulah salah satu saksinya. Ini baru makmur.
Tiba-tiba Pak Zul menelponku agar menghubungi Tante Tini. Tante Tini harap-harap cemas. Aku pun menghubungi Tante Tini dan bilang aku segera pulang setelah shalat Ashar di Masjid Negara. Aku diberi petunjuk oleh Allah melalui seorang Bapak yang menjaga sepatu di Masjid Negara yang menyangka diriku orang Jakarta. Beliau menunjukiku jalan menuju bus yang mau ke arah Gombak. Melihat sebuah bus aku langsung naik dan tidak lupa menggosok gigi eh bertanya apa bus ini menuju Gombak. Supir bus tersebut bilang ini bukan bus menuju Gombak, kalau menuju Gombak tunggu di depan Bank HSBC. Aku pun jalan ke sana. Dan bus yang kunaiki pulang ke Gombak ini sama dengan bus sewaktu aku pergi tadi. Masih dengan kernet yang sama. Seharian full Abang ini kerja jadi kernet dan ditemani oleh supir perempuan. Benar-benar emansipasi wanita.

Tanda-tanda jika sudah dekat dengan rumah Tante Tini dan aku memberhentikan bus adalah sebuah apartemen. Dan aku langsung memencet tombol di atas kepalaku yang biasanya kalau di bus Indonesia itu adalah tempat bagasi. Busnya berhenti dan aku pun sampai di rumah Tante Tini dengan selamat. Alhamdulillah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar