Sabtu, 04 November 2017

*“AYBUN, JANGAN TERLALU GAMPANG MEMBELIKAN SESUATU KEPADA ANAK, AGAR IA TAHU PROSES!”* . Aybun, banyak orangtua atas nama cinta, ingin memberikan barang-barang terbaik untuk anaknya. Sehingga, ketika anaknya meminta sesuatu, dia selalu langsung penuhi. Dibelikan. Simsalabim, tiba-tiba ada. . Jika hal ini berlangsung terus-menerus pada anak kita, maka ada dampak yang cukup menghkawatirkan yang bisa muncul. Apa itu? Dia menjadi orang yang tak terbiasa melihat proses, tapi hanya hasil. “Pokoknya, apapun caranya, harus terpenuhi. Biasanya saya minta sesuatu, langsung ada kok” Begitu kira-kira logika berpikir anak. Dia tidak tahu dan tidak mau tahu seberat, sesusah, semenantang apa mencari uang untuk menghadirkan hadiah atau barang-barang yang diinginkan anak kita itu. Dia tahu beres saja. Orangtua dalam hal ini ingin berjuang seperti seorang hero bagi anaknya. . Akibatnya dalam bentuk akumulatif jangka panjang apa? Bahayanya, nanti ketika dia sudah besar, dia akan menjadi seorang yang sangat egois. Tidak mau menunggu. Selalu menuntut orang buru-buru, serba cepat. Dia tahunya begitu minta, begitu ada langsung. Kalau ada kendala, ngamuk-ngamuk. Tantrum. . Jika itu terjadi masih single, tidak masalah. Resikonya kecil. Nah, yang repot, jika hal itu terjadi pada saat dia sudah menikah, sudah punya anak juga, akan banyak konsekuensi logis yang ditanggung oleh istri/ suami dan anaknya. Kasihan keluarganya jika mendapatkan orang yang egois, dan hanya berorientasi hasil, bukan proses. Tingkat toleransinya rendah. Tidak mau tahu. Suka memaksa. . Jika orang ini mendapatkan cobaan, dia akan mencoba menyalahkan pihak di luar dirinya. Kenapa? Karena fokus orientasi sudut pandangnya selalu di sudut pandang AKU. Dari sudut pandang AKU ini, selalu tidak ada masalah. Selalu terpenuhi setiap ada keinginan. . Ada satu kasus yang saya observasi. Seorang berusia 30-an tahun, dia menikah. Karena dari kecil biasa diurusi terus oleh orangtua, dan tidak dibangun, maka dia ketergantungan akut dengan bantuan-bantuan orang lain. Semua serba tersedia, dia tinggal pakai. Ternyata prinsip ini dipakainya hingga ia jelang nikah. . Dia yang mau menikah, orang lain yang pontang-panting mencari suvenir. Diingatkan, dia cuek saja. Nanti tanya papa saja, katanya. Sementara papanya sudah pensiun. Tidak ada lagi pemasukan. Akhirnya, saudara-saudara lain terpaksa take over urusan suvenir. Kenapa? Karena anak usia 30 tahunan tadi seperti terlihat ‘tidak tahu diri’. Dia tidak tahu jika menikah itu, terkait suvenir, tidak bisa mendadak-mendadak santai-santai. Apalagi saat itu, nikahnya akan di Lombok. Perlu kirim barang ke sana. Sementara ekspedisi keburu tutup jelang hari raya lebaran. Dia tidak ada kekhawatiran ke arah sana. Karena apa? Karena dari kecil tahu beres. . *SOLUSI* . Untuk itu, jika kita ingin mencetak generasi penerus yang punya sudut pandang lebih luas, lebih wise, mengerti proses, tidak hanya fokus ke hasil, maka mulai sekarang, libatkan anak-anak kita dalam proses kegiatan. Jangan ditinggalkan dia. Jangan dilarang jika dia ingin mencoba. . Misalnya? Jika anak kita tertarik bantu orangtuanya main masak-masak di dapur, maka orangtua jangan melarang. Fasilitasi! Kalau orangtua sedang mengupas bawang, beri anaknya bawang tiga siung. Biar dia merasakan sensasi mengupas bawang dan matanya bisa jadi perih. Di sana dia jadi tahu, merasa bersyukur, dan bisa berempati dengan juru masak, bahwa masakan itu tidak mudah membuatnya. Butuh perjuangan. Sehingga, jika dia tahu proses, insya Allah dia akan jauh lebih menghargai karya orang lain. Dia tidak jadi orang EGOIS yang meremehkan karya orang lain. . Dalam aktivitas kegiatan kita di rumah ketika bersih-bersih, libatkan anak kita. Agar dia merasakan betul arti dari tanggung jawab. Barangku tanggung jawabku, dan aku lah yang seharusnya menjaga, membersihkannya. =================== “Optimalkan masa kecil anak, agar hidupnya selamat, kelak!” . Penulis adalah Pak Ading, seorang Childhood Optimizer Trainer. Ia melatih para orangtua muda untuk mampu meningkatkan kapasitasnya sebagai orangtua yang mampu mengoptimalkan masa kecil anaknya dalam membangun karakter anak, melalui 2 strategi: strategi komunikasi dan strategi bermain. Melalui 2 strategi tersebut, diharapkan orangtua mampu membangun BONDING yang kuat dengan anak, sehingga mampu memfasilitasi tumbuh-kembang anak secara optimal dan siap menjadi BONUS DEMOGRAFI 2045 yang merupakan BERKAH buat bangsa kita, bukan sebagai MUSIBAH. Fokus Pak Ading adalah mengobservasi, meneliti, dan merumuskan modelling terbaik dari ‘program intervensi’ yang pas untuk membangun karakter-karakter positif pada diri anak usia dini dalam pengasuhannya di rumah dan sekolah.

*“AYBUN, JANGAN TERLALU GAMPANG MEMBELIKAN SESUATU KEPADA ANAK, AGAR IA TAHU PROSES!”*
.
Aybun, banyak orangtua atas nama cinta, ingin memberikan barang-barang terbaik untuk anaknya. Sehingga, ketika anaknya meminta sesuatu, dia selalu langsung penuhi. Dibelikan. Simsalabim, tiba-tiba ada.
.
Jika hal ini berlangsung terus-menerus pada anak kita, maka ada dampak yang cukup menghkawatirkan yang bisa muncul. Apa itu? Dia menjadi orang yang tak terbiasa melihat proses, tapi hanya hasil. “Pokoknya, apapun caranya, harus terpenuhi. Biasanya saya minta sesuatu, langsung ada kok” Begitu kira-kira logika berpikir anak. Dia tidak tahu dan tidak mau tahu seberat, sesusah, semenantang apa mencari uang untuk menghadirkan hadiah atau barang-barang yang diinginkan anak kita itu. Dia tahu beres saja. Orangtua dalam hal ini ingin berjuang seperti seorang hero bagi anaknya.
.
Akibatnya dalam bentuk akumulatif jangka panjang apa? Bahayanya, nanti ketika dia sudah besar, dia akan menjadi seorang yang sangat egois. Tidak mau menunggu. Selalu menuntut orang buru-buru, serba cepat. Dia tahunya begitu minta, begitu ada langsung. Kalau ada kendala, ngamuk-ngamuk. Tantrum.
.
Jika itu terjadi masih single, tidak masalah. Resikonya kecil. Nah, yang repot, jika hal itu terjadi pada saat dia sudah menikah, sudah punya anak juga, akan banyak konsekuensi logis yang ditanggung oleh istri/ suami dan anaknya. Kasihan keluarganya jika mendapatkan orang yang egois, dan hanya berorientasi hasil, bukan proses. Tingkat toleransinya rendah. Tidak mau tahu. Suka memaksa.
.
Jika orang ini mendapatkan cobaan, dia akan mencoba menyalahkan pihak di luar dirinya. Kenapa? Karena fokus orientasi sudut pandangnya selalu di sudut pandang AKU. Dari sudut pandang AKU ini, selalu tidak ada masalah. Selalu terpenuhi setiap ada keinginan.
.
Ada satu kasus yang saya observasi. Seorang berusia 30-an tahun, dia menikah. Karena dari kecil biasa diurusi terus oleh orangtua, dan tidak dibangun, maka dia ketergantungan akut dengan bantuan-bantuan orang lain. Semua serba tersedia, dia tinggal pakai. Ternyata prinsip ini dipakainya hingga ia jelang nikah.
.
Dia yang mau menikah, orang lain yang pontang-panting mencari suvenir. Diingatkan, dia cuek saja. Nanti tanya papa saja, katanya. Sementara papanya sudah pensiun. Tidak ada lagi pemasukan. Akhirnya, saudara-saudara lain terpaksa take over urusan suvenir. Kenapa? Karena anak usia 30 tahunan tadi seperti terlihat ‘tidak tahu diri’. Dia tidak tahu jika menikah itu, terkait suvenir, tidak bisa mendadak-mendadak santai-santai. Apalagi saat itu, nikahnya akan di Lombok. Perlu kirim barang ke sana. Sementara ekspedisi keburu tutup jelang hari raya lebaran. Dia tidak ada kekhawatiran ke arah sana. Karena apa? Karena dari kecil tahu beres.
.
*SOLUSI*
.
Untuk itu, jika kita ingin mencetak generasi penerus yang punya sudut pandang lebih luas, lebih wise, mengerti proses, tidak hanya fokus ke hasil, maka mulai sekarang, libatkan anak-anak kita dalam proses kegiatan. Jangan ditinggalkan dia. Jangan dilarang jika dia ingin mencoba.
.
Misalnya? Jika anak kita tertarik bantu orangtuanya main masak-masak di dapur, maka orangtua jangan melarang. Fasilitasi! Kalau orangtua sedang mengupas bawang, beri anaknya bawang tiga siung. Biar dia merasakan sensasi mengupas bawang dan matanya bisa jadi perih. Di sana dia jadi tahu, merasa bersyukur, dan bisa berempati dengan juru masak, bahwa masakan itu tidak mudah membuatnya. Butuh perjuangan. Sehingga, jika dia tahu proses, insya Allah dia akan jauh lebih menghargai karya orang lain. Dia tidak jadi orang EGOIS yang meremehkan karya orang lain.
.
Dalam aktivitas kegiatan kita di rumah ketika bersih-bersih, libatkan anak kita. Agar dia merasakan betul arti dari tanggung jawab. Barangku tanggung jawabku, dan aku lah yang seharusnya menjaga, membersihkannya.
===================
“Optimalkan masa kecil anak, agar hidupnya selamat, kelak!”
.
Penulis adalah Pak Ading, seorang Childhood Optimizer Trainer. Ia melatih para orangtua muda untuk mampu meningkatkan kapasitasnya sebagai orangtua yang mampu mengoptimalkan masa kecil anaknya dalam membangun karakter anak, melalui 2 strategi: strategi komunikasi dan strategi bermain. Melalui 2 strategi tersebut, diharapkan orangtua mampu membangun BONDING yang kuat dengan anak, sehingga mampu memfasilitasi tumbuh-kembang anak secara optimal dan siap menjadi BONUS DEMOGRAFI 2045 yang merupakan BERKAH buat bangsa kita, bukan sebagai MUSIBAH. Fokus Pak Ading adalah mengobservasi, meneliti, dan merumuskan modelling terbaik dari ‘program intervensi’ yang pas untuk membangun karakter-karakter positif pada diri anak usia dini dalam pengasuhannya di rumah dan sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar